©2025 All Rights Reserved. Developed by act! Digital Agency
JAKARTA – Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, sekaligus produsen utama komoditas strategis ini. Seiring tren elektrifikasi global, banyak pihak menyoroti peran vital nikel Indonesia sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik (EV). Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas konsumsi nikel saat ini masih diserap oleh industri stainless steel.
Indonesia bukan sekadar negara tambang. Dengan larangan ekspor bijih mentah sejak 2020 dan dorongan kuat untuk hilirisasi, negeri ini telah mengubah posisinya menjadi produsen nikel olahan yang memiliki nilai tambah tinggi. Tapi, ke mana nikel itu sebenarnya terserap?
Data industri hingga awal 2025 memperlihatkan bahwa sekitar 60 persen nikel olahan Indonesia digunakan untuk produksi stainless steel. Artinya, sektor baja tahan karat masih menjadi pasar terbesar dibandingkan sektor baterai EV.
Stainless steel memerlukan nikel kelas 2 seperti Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferronickel (FeNi) untuk memberikan sifat anti-karat, kekuatan, dan kilau pada logam. Kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay menjadi pusat produksi masif untuk bahan ini, baik untuk pasar domestik maupun ekspor global.
Program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah telah memicu investasi besar-besaran dalam pembangunan smelter. Namun, sebagian besar smelter yang terbangun lebih dulu fokus pada produk untuk stainless steel, bukan untuk baterai.
Smelter-smelter ini mengolah bijih nikel saprolit menjadi NPI atau FeNi, karena lebih murah dan teknologi pengolahannya sudah mapan. Hasilnya, ekosistem stainless steel tumbuh jauh lebih dulu dan lebih besar.
Di sisi lain, potensi penggunaan nikel untuk baterai EV tetap besar. Kebutuhan akan nikel kelas 1—seperti nikel sulfat, MHP (Mixed Hydroxide Precipitate), dan prekursor katoda—diproyeksikan melonjak tajam.
Pemerintah Indonesia terus mendorong pengembangan smelter HPAL (High-Pressure Acid Leaching) yang mampu mengolah bijih limonit menjadi bahan baku baterai. Namun, realisasinya masih dalam tahap awal dan memerlukan waktu serta teknologi lebih kompleks.
Produksi nikel untuk baterai EV masih kalah dari stainless steel karena:
Investasi HPAL baru dimulai beberapa tahun terakhir
Waktu konstruksi smelter HPAL lebih lama (3–5 tahun)
Teknologi lebih kompleks dan mahal
Permintaan industri lokal belum sebesar pasar baja
Hal ini menjelaskan mengapa hingga kini, produksi untuk sektor baterai masih belum dominan meskipun potensi jangka panjangnya sangat menjanjikan.
Seorang analis pertambangan menyebut, “Saat ini, produksi nikel untuk stainless steel memang mendominasi. Tapi ke depan, rantai pasok baterai adalah fokus strategis dengan nilai tambah yang jauh lebih tinggi.”
Penting bagi Indonesia untuk menyeimbangkan hilirisasi untuk stainless steel dan baterai agar bisa:
Mengoptimalkan pendapatan dari sumber daya alam
Menangkap peluang industri kendaraan listrik global
Menghindari ketergantungan pasar tunggal
Hingga awal 2025, industri stainless steel masih menyerap sekitar 60% nikel Indonesia, hasil dari hilirisasi tahap awal yang berfokus pada NPI dan FeNi. Meski narasi nikel untuk baterai semakin kuat, realitas pasar saat ini masih condong ke stainless steel.
Namun, dengan pengembangan smelter HPAL dan ekosistem baterai EV, jalur hilirisasi ke sektor baterai memiliki potensi pertumbuhan eksponensial. Keseimbangan antara kedua jalur ini akan menentukan masa depan industri nikel nasional.
PT Valar Truk Solusi
Jl. Sukarjo Wiryopranoto No. 55A
Jakarta Barat
©2025 All Rights Reserved. Developed by act! Digital Agency